Samsul H.S*
Sejarah perkembangan bangsa dan negara manapun, senantiasa
mengalami pasang surut,. Bisa saja berupa kejayaan, namun juga kehancuran.
Kehancuran pemerintahan dan negara selalu diawali dengan ketidakmampuan negara
dalam mengelola dan membangun sistem pemerintahan yang kuat dan bersih.
Disamping itu juga faktor rendahnya sumberdaya manusia (SDM).
Berkaca dari pengalaman dan kejadian masa lalu, seyogyanya
bangsa ini melakukan intropeksi dan berbenah diri secara arif dan cerdas. Agar
tidak semakin terpuruk dalam jurang kemiskinan, kebodohan dan jumlah hutang
yang semakin membengkak setiap tahunnya.
Seiring dengan perubahan yang terjsadi yang terjadi pada
bangsa Indonesia, dan reformasi sebagai alternatif pilihan terbaik,
keterpurukanpun belum berkahir. Mulai dari menurunnya kualitas SDM karena
banyaknya anak bangsa yang berkualitas tidak mampu mengenyam pendidikan secara
layak serta rendahnya produktivitas kerja.
Sebut saja munculnya kasus kriminalisasi KPK, yang
melibatkan petinggi Polri serta petinggi
kejaksaan yang dengan mudahnya diatur oleh seorang yang bernama Anggodo. Kasus
Hambalang, oknum DPR pemeras BUMN, simulator dan plat nomor di satlantas Polri
yang mencapai ratusan milyar. Bahkan yang lebih memprihatinkan Al Qur’an saja
dikorupsi. Semua menunjukkan keironisan dan sudah menjadi rahasia umum yang tak
terbantahkan. Anehnya semua ini memperoleh dukungan yang sama dari kelakuan
elit politik dan penegak hukum.
Terbukti dari data Transparansi Internasioanal Indonesia/ TII
(Suprapto, 2009) pada tahun 2007 mengenai korupsi di negara kita menunujukkna
intitusi Kepolisisan, Parlemen, Lembaga Peradilan dan Partai Politik menduduki
lembaga terkorup. Menariknya pada tahun 2012, Lembaga Kemenag RI dan BPN dianggap
KPK belum sungguh-sungguh melkukan reformasi birokrasi secara baik. Semestinya
lembaga-lembaga penegakan hukum tersebut menjadi energi pnggerak pemeberantasan
korupsi.
Bermula dari guru
Berkaca dari berbagai kejadian di atas, amk dunia pendidikan
harus segera mengimbangi dengan bergerak cepat. Gerak cepat yang dimaksud
adalah melakukan kegiatan, program mempersiapkan anak-anak bangsa ini menjadi
manusia yang memiliki integritas. Hal ini perlu dipersiapkan guna mempersiapkan
generasi penerus bangsa yang di kemudian hari menjadi pemegang kendali
kekuasaan.
Memang untuk mengatasi korupsi yang sudah mendarah daging
bukan hal yang mudah seperti membalikkan kedua telapak tangan. Sebut saja upaya
KPK dan Kejaksaan yang membuat pilot project kantin kejujuran di
lembaga-lembaga pendidikan. Sekalipun secara empiris belum diperoleh data
efektifitas dan keberhasilan untuk mendidik siswa bermental anti korupsi.
Tetapi ini lbih baik dan merupakan solusi jangka pendek.
Di samping mendidik korupsi pada murid-muridjuga harus
didukung didukung oleh sebuah lingkungan (atmosfer) yang jujur pula. sikap
jujur ini berlaku mulai dari tukang kebun sampai pada kepala sekolah. Karena
sebagus dan secanggih apapun integrasi pembudayaan anti korupsi pada mata
pelajaran (kurikulum) disusun, isi pembelajarannya tidak berdaya guna apabila
budaya lingkungan tidak tercipta. Mengingat korupsi merupakan sikap (domain
afektif) siswa yang tidak dapat dicermati dengan mata telanjang ataupun dengan
rumus dan angka-angka, maka yang dibutuhkan adlah keteldanan (transfer of
value), kepastian sanksi, bukan semat mata pengajaran teori (transfer of
knowledge).
Peran Penting Sekolah
Pembudayaan mental anti korupsi sejak didi di sekolah adalah
sesuatau yang sangat penting. Karena pendekatan secara ini lebih efektif
menekan perilaku korupsi pada kurun waktu yang akan datang. Sehingga ada
secercah harapan di kemudian hari, muncul banyak generasi muda yang memeiliki
mental dan budaya anti korupsi. Tentu saja, pembiasaan-pembiasaan iu harus
dibarengi dengan sikap dan keteladanan.
Penelitian Lowson (2004) mengindikasikan murid atau pelajar
yang melakukan ketidakjujuran akademik cenderung akan melakukan ketidakjujuran
di lingkungan kerja/ sikap bohong, tidak jujur, mengeksploitasi orang lain,
secara psikologis harus dianggap sebagai hal yang serius. Apabila hal-hal
tersebut tumbuh dan berkembang sejak dini dalam lingkungan sosial-sekolah yang menganggap wajar, maka ini akan diserap
murid sebagai sesuatau yang ditoleransi oleh budaya. Tentu pembudayaan mental
anti korupsi di sekolah terancam gagal.
Untuk itu, selama sekolah-sekolah belum segera menerapkan
budaya prisnsip-prisnip kedisiplinan serta kepastian sanksi yang sepadan
terhadap perilaku-perilaku tidak terpuji. Serta tidak didorong oleh atmosfer
lingkungan dan nilai-nilai budaya keteladanan, jangan terlampau berharap besar
pada keberhasilan dan tumbuhnya mental anti korupsi pada generasi penerus
bangsa.
*) ketua FK-MGMP PKn SMP Kab. Jombang
Sumber: Majalah Suara Pendidikan Edisi VIII April 2013