Sewaktu
kecil, kita pasti sering ditanya, “Nak, kalo udah gedhe mau jadi apa?” Sebuah
pertanyaan sederhana yang secara gak langsung merefleksikan sebuah cita-cita.
Terus jawabannya pun beragam, ada yang pengen jadi dokter, tentara, polisi,
pilot, astronot, dll. Cita-cita merupakan sebuah tujuan yang ingin dicapai oleh
seseorang atau bisa pula disebut impian. Impian untuk perbaikan dan kesuksesan
dalam hidup di masa mendatang, yang lebih baik dari masa sekarang.
Kata orang,
sebuah kenyataan sering bermula dari impian. Percaya gak? Misalnya aja, Jules
Verne, seorang penulis terkenal yang kemudian dinobatkan sebagai bapak fiksi
ilmiah. Dulu ia sering bermimpi tentang semua hal (baca: menghayal). Semua
khayalan atau impian itu, ia tuangkan dalam sebuah tulisan. Dari
tulisan-tulisan itu lahirlah beberapa novel seperti 20.000 Mil di Bawah Laut, Mengelilingi
Dunia dalam 80 Hari, Perjalanan ke
Bulan, dll.
Dalam novel
20.000 Mil di Bawah Laut, Verne
memproyeksikan penggunaan kapal selam sebelum ditemuka oleh manusia dan
memprediksi penggunaan listrik sebagai sumber tenaga , seratus tahun sebelum
listrik itu sendiri ditemukan. Dan dalam novel Perjalanan ke Bulan, Verne juga memprediksi usaha manusia untuk
melakukan perjalanan ke bulan sebelum adanya misi Apollo dilaksanakan.
Ada juga
seorang astronom Prancis, Camille Flammarion, telah menulis novel yang berjudul
Lumen tentang perjalanan yang lebih
cepat dari cahaya, tiga puluh tahun sebelum Einstein mengemukakan postulatnya
tentang relativitas.
Demikian
juga, seperti yang diceritakan Eliza V. Handayani dalam sebuah buku. Awalnya
semua impian itu dianggap mustahil oleh orang-orang. Tapi dengan berjalannya
waktu, sedikit demi sedikit, impian itu benar-benar terwujud. Apa kuncinya?
Jangan berhenti untuk bermimpi, apapun itu! Sesuatu yang besar kadangkala
bermula dari impian yang besar pula.
Hasil
penemuan penting menyatakan bahwa 75% dari para ilmuwan menghasilkan
penemuannya tidak pada saat sedang aktif melakukan penelitian. Descartes,
seorang ahli matematika dan filsuf terkenal dari Prancis, mengatakan bahwa
penemuan-penemuan terbesarnya merupakan hasil perenungan saat ia terbaring di
tempat tidur pagi hari. Tuh kan...
Akhirnya
setelah kita punya mimpi, kejarlah mimpi itu hingga tercapai dengan penuh
dorongan semangat. Walter Elias Disney, seorang pendiri animasi terkenal,
pernah mengatakan, “If you can dream it,
you can do it.” Bergeraklah untuk
segera mewujudkannya karena sebuah mimpi tanpa realisasi menjadi gak berarti.
Artinya, mimpi kita kosong, mimpi kita jadi gak berarti alias buang-buang
energi aja.
Memiliki
mimpi atau cita-cita berarti memiliki sebuah motivasi yang kuat. Kita akan
senantiasa melakukan apa aja yang harus dilakukan untuk mengejar cita-cita
tersebut. Kita juga akan terbiasa bekerja keras, mengatur dan memanajemen waktu
kita untuk tujuan tersebut. Implikasinya, semua aktivitas kita jadi terprogram
dengan baik.
Sebaliknya,
gak memiliki cita-cita berarti mempersiapkan sebuah kegagalan. Hidup jadi
terasa membosankan karena gak ada yang bisa dilakukan. Waktu menjadi terbuang
percuma dan batin akan tersiksa. Pikiran menjadi kacau dan selalu gelisah.
Merasa diri hina dan gak berguna. Pokonya, gak enak banget. John Ruskin pernah
ngomong, “Pikiran hanya bisa disehatkan dengan beekerja dan hanya dengan piiran
yang sehat kita bisa membuat kerja menjadi lebih menyenangkan.” Bekerja berarti
memiliki cita-cita dan memiliki sebuah impian.
Cita-cita
yang baik adalah cita-cita yang datang dari lubuk hati terdalam, bukan karena
bentuk paksaan orang lain atau sekedar ikut-ikutan. Impian setiap orang kan
berbeda-beda. Jadi, mengapa harus mengikuti kata hati orang? Bukankah
mengerjakan sesuatu yang kita sukai lebih asyik dan lebih menyenangkan? Lagi
pula, semua impian itu kita sendiri yang menjalaninya kan?
Impian yang
menyenangkan dan datang dari lubuk hati sendiri biasanya lebih cepat terwujud.
Walaupun berbagai rintangan menghadang, dia akan tetap menjalaninya dengan
penuh kesenangan karena didukung dengan semangat yang tinggi untuk meraihnya.
Akhirnya,
apapun cita-cita atau impian kita, hendaknya harus dapat dipertanggungjawabkan
pada diri sendiri, orang lain, dan yang lebih utama kepada Allah SWT.
Cara yang
kita lakukan dalam mengejar cita-cita itu pun harus benar-benar baik, gak
menghalalkan segala cara seperti prinsipnya Machiavelli. Bukankah orang yang
paling baik adalah orang yang bermanfaa, bukan cuma buat dirinya sendiri,
tetapi juga buat orang-orang di sekitarnya?! Dan itu termasuk salah satu
cita-cita, yakni menjadi orang yang selalu bermanfaat.
Atoirahman,
Ibnu. 2006. Hidup Tanpa Masalah.
Bandung: Dar! Mizan